Jumat, 26 Maret 2010

MASA PEMERINTAHAN DINASTI UMAYYAH

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang masalah

Nama daulah Umayah itu berasal dari nama Umayah ibn Abdi Syams ibn Abdi Manaf, yaitu salah seorang dari pemimpin Quraisy pada jaman Jahiliah. Umayah senantiasa bersaing dengan pamannya Hasyim ibn Abdi Manaf untuk merebut pimpinan dan kehormatan.

Sesudah datangnya islam berubahlah mereka, Bani Hasyim bersaing untuk merebut kehormatan dan kekuasaan jadi berubah sifat menjadi permusuhan yang lebih nyata. Bani umayah dengan tegas menentang Rasulullah, sebalinya Bani Hasyim menjadi penyokong dan pelindung Rasulullah, baik mereka yang telah masuk islam ataupun yang belum. Bani Umayah berubah masuk islam setelah tidak ada jalan lain, yaitu ketika Nabi Muhammad SAW bersama beribu pengikutnya menyerbu masuk ke kota Mekah.

Bani Umayah termasuk orang yang terakhir masuk agama islam, juga merupakan musuh yang paling keras terhadap islam sebelum mereka memasukinya. Setelah masuk islam mereka bisa menunjukkan jiwa kepahlawanan yang tiada tanding dan berjasa besar dalam penyebaran agama islam.

Pada masa pemerintahan Khalifah Ali Bin Abi Thalib terjadi pertempuran Ali dengan Muawiyah di Shifin. Perang ini diakhiri dengan tahkim, tapi ternyata tidak menyelesaikan masalah bahkan menimbulkan adanya golongan tiga yaitu Khawarij yang keluar dari barisan Ali.Umat islam menjadi terpecah menjadi tiga golongan politik yaitu Muawiyah, Syiah dan Khawarij. Pada tahun 660 M Ali terbunuh oleh salah seorang anggota Khawarij.

Dengan demikian berakhirlah masa Khulafaur Rasyidin dan mulai kekuasaan Bani Umayah dalam semangat politik islam. Kekuasaan Bani Umayah berbentuk pemerintahan yang bersifat demokratis berubah menjadi monarchiheridetis (kerajaan turun temurun). Hal ini dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya Yazid.[1]

Itulah sedikit gamabaran tentang berdirinya masa Dinasti Umayyah. Untuk mengkaji lebih dalam tentang masa Dinasti Umayyah maka, dalam makalah ini akan dijelaskan khalifah-khalifah Umayyah, dan masa kemajuan peradaban islam pada masa pemerintahan Bani Umayah.

Untuk mencapai kesimpulan umum, akan dianalisis melalui isi dalam pembahasan.Demikian latar belakang masalah yang bisa kita simpulkan bersama.

1.2 Rumusan Masalah

Melihat hal tersebut di atas maka, kami mencoba menyusun Makalah tentang Masa Pemerintahan Dinasti Umayyah.

Masalah utama yang akan dibahas adalah:

1. Bagaimana latar belakang berdirinya Dinasti Umayyah?

2. Bagaimana sedikit gambaran tentang urutan pemerintahan pada masa Pemerintahan Dinasti Umayyah?

3. Apa yang menyebabkan keruntuhan Dinasti Umayyah?

BAB III

KESIMPULAN

Seperti yang telah dijelaskan dalam pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan:

Ø Adapun beberapa gambaran para khalifah Umayah pada masa pemerintahanya yang sudah dijelaskan dalam pembasan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa setelah pada masa pemerinthan Umar II selalu digantikan oleh khalifah yang lemah dan selalu mengorbankan keadaan, baik bagi kekhalifahan untuk kesenangan-kesenangan mereka.

Ø Masa kemajuan peradaban islam pada masa Bani Umayah sangat luas. Wilayah kekuasaan Islam pada masa Umayyah sangat luas , yang meliputi antara lain: Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, Jazirah Arabia, Irak, Sebagian Asia kecil, Persia, Afganistan, Pakistan, Uzbek, Kilgis di Asia Tengah.

Ø Sebab-sebab keruntuhan Dinasti Umayyah:

- Sikap Hiidup mewah di lingkungan istana.

- Pertentangan etnis antar suku Arabia Utara(Bani Qays) dengan Arabian Selatan(Bani Kalb) yang sudah ada sejak jaman sebelum islam.

- Muncul kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan al-Abbas ibn al-Mutholib yang mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syiah dan kaum malawi yang merasa dikelasduakan oleh pemerintahan Bani Umkayah.

- Setelah pada masa pemerinthan Umar II selalu digantikan oleh khalifah yang lemah dan selalu mengorbankan keadaan baik bagi kekhalifahan untuk kesenangan-kesenangan mereka.



[1]Drs.Mansur,M.A.2004.Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah.Yogyakarta:Global pustaka utama.Hal 30.

INTERPRETASI

INTERPRETASI

Disusun guna memenuhi tugas

Metode Sejarah

Dosen Pengampu : H.Y. Agus , M.Hum.

uny hitam2

Disusun Oleh

Nama : saeful tri antoro

Nim : 08406244026

JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN EKONOMI

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKART

2009

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Interpretasi atau penafsiran adalah proses komunikasi melalui lisan atau gerakan antara dua atau lebih pembicara yang tak dapat menggunakan simbol-simbol yang sama, baik secara simultan (dikenal sebagai interpretasi simultan) atau berurutan (dikenal sebagai interpretasi berurutan). Menurut definisi, interpretasi hanya digunakan sebagai suatu metode jika dibutuhkan. Jika suatu objek (karya seni, ujaran, dll) cukup jelas maknanya, objek tersebut tidak akan mengundang suatu interpretasi. Istilah interpretasi sendiri dapat merujuk pada proses penafsiran yang sedang berlangsung atau hasilnya.

Suatu interpretasi dapat merupakan bagian dari suatu presentasi atau penggambaran informasi yang diubah untuk menyesuaikan dengan suatu kumpulan simbol spesifik. Informasi itu dapat berupa lisan, tulisan, gambar, matematika, atau berbagai bentuk bahasa lainnya. Makna yang kompleks dapat timbul sewaktu penafsir baik secara sadar ataupun tidak melakukan rujukan silang terhadap suatu objek dengan menempatkannya pada kerangka pengalaman dan pengetahuan yang lebih luas.

  1. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan interpretasi ?

2. Apa saja tujuan dari interpretasi ?

3. Apa yang di jelaskan dalam interpretasi ?

BAB 2

PEMBAHASAN

Interpretasi Sejarah

a. Pengertian Interpretasi

Interpretasi atau penafsiran adalah proses komunikasi melalui lisan atau gerakan antara dua atau lebih pembicara yang tak dapat menggunakan simbol-simbol yang sama, baik secara simultan (dikenal sebagai interpretasi simultan) atau berurutan (dikenal sebagai interpretasi berurutan). Menurut definisi, interpretasi hanya digunakan sebagai suatu metode jika dibutuhkan. Jika suatu objek (karya seni, ujaran, dll) cukup jelas maknanya, objek tersebut tidak akan mengundang suatu interpretasi. Istilah interpretasi sendiri dapat merujuk pada proses penafsiran yang sedang berlangsung atau hasilnya. Suatu interpretasi dapat merupakan bagian dari suatu presentasi atau penggambaran informasi yang diubah untuk menyesuaikan dengan suatu kumpulan simbol spesifik. Informasi itu dapat berupa lisan, tulisan, gambar, matematika, atau berbagai bentuk bahasa lainnya. Makna yang kompleks dapat timbul sewaktu penafsir baik secara sadar ataupun tidak melakukan rujukan silang terhadap suatu objek dengan menempatkannya pada kerangka pengalaman dan pengetahuan yang lebih luas.

b. Tujuan dan Penjelasan Interpretasi

Tujuan interpretasi biasanya adalah untuk meningkatkan pengertian, tapi kadang, seperti pada propaganda atau cuci otak, tujuannya justru untuk mengacaukan pengertian dan membuat kebingungan.

Petualangan yang menguntungkan dalam penelitian sejarah hanya dapat kita memulainya bila mengidentifikasikan suatu masalah yang membingungkan dan kemudian merumuskannya dengan benar[1]. Dalam kasus ini, seorang sejarawan dituntut untuk dapat meng-interpretasi-kan sebuah masalah dengan cukup obyektif, sesuai dengan materi yang sebenarnya. Di sinilah imajinasi dalam sejarah diperlukan. Sebuah imajinasi dengan batasan keadaan yang sebenarnya. Penggunaan imajinasi dalam interpretasi dan eksplanasi menjadi mutlak disaat kasus yang sulit menjadi penghalang dalam meng-interpretasikan masalah yang dihadapi.

Selain batasan tersebut diatas, faktor continuitas dan akronisme menjadi faktor yang harus diperhatikan. Kesinambungan dan urutan waktu dalam interpretasi maupun ekplanasi menjadi hal yang wajib ditaati agar tidak terjadi fallacies (kesalahan-kesalahan dalam penulisan). Sangat lucu jika fakta yang kita rangkai tidak sinambung dan urutan waktunya berloncatan. Maka tuntutan seorang sejarawan dalam meramu fakta secara continuitas dan akronisme, sangat mutlak dilakukan. Hal ini untuk menghindari kerancuan dalam sejarah dan sebagai landasan yang kuat dalam menerima serbuan kritik.

Setiap rekontruksi sejarah menghasilkan suatu konstruktur atau bangunan, gambaran atau gubahan. Kontruktur mengandung unsur-unsur subjek yang menjadi interpretasi. Jadi, kontruktur tidak sama dengan gambaran lengkap atau dengan potret dari apa yang sesungguhnya terjadi. Oleh karena setiap kontruktur senantiasa dituntut menghasilkan sesuatu yang utuh dan bulat, baik itu naratif maupun deskriptif, maka bagi penyusunan fakta-fakta dan dalam penafsiran dalam penukisan sejarah jadi sangat penting dan sangat diperlukan dan harus ada tambahan-tambahan unsure-unsur lainnya.

Dari pengalaman sehari-hari kita mengetahui bahwa kita senantiasa menggunakan interpretasi. Sewaktu naik kereta api dari Yogya ke Jakarta seseorang tertidur dalam perjalanan dan baru bangun waktu tiba di Cirebon. Meskipun tidak menyadai kenyataan perjalanan yang sebenarnya, tetapi dengan penafsiran ia mengetahui bahwa kereta api telah melampaui beberapa tempat, antara lain Kutoarjo, Kebumen, Purwokerto. Bahkan pemandangan di beberapa tempat dapat dibayangkan pula, karena pengalaman perjalanan. Maka dari contoh di atas dapat disimpulkan bahwa interpretasi atau penafsiran sangat penting dalam kehidupan sehari-hari.

Masing-masing generasi memiliki persoalan dan masalahnya sendiri. Sehingga memiliki kepentingan dan sudut pandang sendiri. Setiap generasi berhak memikirkan dan mereinterpretasi sejarah menurut caranya sendiri. Interpretasi tiap-tiap generasi akan saling komplementer, dalam artian interpretasi generasi sekarang akan bersifat komplementer dengan interpretasi generasi sebelumnya. Seluruh sejarah bergantung pada interes kita. Yang ada ialah berbagai sejarah, dan tidak pernah ada sejarah tunggal.

Orang mempelajari sejarah paling tidak memiliki 2 motif, ketertarikan pada sejarah, dan pemahaman bahwa belajar sejarah merupakan belajar tentang persoalan kita sendiri. Menurut Popper tujuan dari 2 motif ini tidak akan tercapai jika pengaruh ide objektivisme yang sesungguhnya tidak dapat diterapkan masih kuat, dan apabila kita ragu-ragu mempresentasikan masalah-masalah historis dari sudut pandang kita. sikap yang seharusnya dimiliki adalah kita mestinya tidak berpikir bahwa sudut pandang kita, jika secara sadar dan kritis diterapkan pada masalah ini, akan bersifat inferior terhadap sudut pandang penulis yang secara naif menyakini bahwa ia tidak menginterpretasikan dan telah mencapai suatu tingkat objektivitas yang mengizinkannya mempresentasikan peristiwa-peristiwa masa lalu seolah-olah peristiwa tersebut benar-benar terjadi secara aktual.

Menurut Kuntowijoyo, seorang sejarawan, dalam pekerjaannya harus dapat membayangkan apa yang sebenarnya, apa yang sedang terjadi, dan apa yang terjadi sesudahnya[2]. Dalam kasus-kasus yang ada ini, batasan yang dipakai sangat jelas. Pembatasan yang seharusnya dilakukan adalah, membatasi interpretasi yang berkembang khusus pada keadaan yang sebenarnya terjadi. Jadi jika imajinasi yang berkembang menjadi meng-interpretasi-kan keadaan yang bukan sebenarnya terjadi, maka telah terjadi manipulasi peristiwa yang sebenarnya.Kemampuan interpretasi adalah menguraikan fakta-fakta sejarah dan kepentingan topik sejarah, serta menjelaskan masalah kekinian. Tidak ada masa lalu dalam konteks sejarah yang benar-benar aktual terjadi. Yang ada hanyalah interpretasi-interpretasi histories.

Tidak ada interpretasi yang bersifat final. Sehingga, setiap generasi berhak mengkerangkakan interpretasinya sendiri. Bukan hanya mengkerangkakannya, setiap generasi juga wajib melakukan interpertas sendiri. Persoalan krusial kita, bagaimana sulitnya kita berhubungan dengan masa lalu. Namun, di sisi lain kita ingin melihat garis yang bisa membawa kemajuan menuju solusi atas apa yang kita rasakan dan apa yang kita pilih sekarang-masa depan. Jika kebutuhan ini tidak kita jawab secara rasional dan jujur, maka kita akan kembali jatuh pada interpretasi historisis yang tak lebih dari keputusan historis.

Jika kita melihat dalam wilayah fisika, yang banyak persedian fakta dan lebih dapat diandalkan, eksperimen-eksperimen penting yang baru terus dibutuhkan. Sehingga berpijak pada hal ini kita akan meninggalkan kepercayaan yang naif bahwa semua perangkat catatan historis hanya dapat diinterpretasi dengan satu cara.Adanya interpretasi lain tentang sejarah merupakan hal yang sangat mungkin.

Hal ini dikarenakan banyak interpretasi, bahkan semua interpretasi belum tentu memberikan manfaat yang sama. Pandangan ini didasarkan pada 3 argumen, yaitu:
Selalu ada interpretasi-interpretasi yang sama sekali tidak bersesuaian dengan laporan sejarah yang disepakati. Ada beberapa interpretasi yang memerlukan sejumlah hipotesisi yang kurang lebih bersifat membantu jika mereka hendak bebas dari falsifikasi yang dilakukan oleh laporan.Ada beberapa interpretasi yang tidak mampu mengubungkan fakta-fakta yang dapat dihubungkan oleh interpretasi lain. Tiga landasasn ini jika kita praktekan akan membawa kemajuan bagi interpretasi sejarah. Pemahaman merasa cukup dengan satu interpretasi baku saja yang selama ini menjangkiti para sejarahwan mesti ditinggalkan. Kita baru dapat menguji suatu teori jika kita memperhitungkan contoh-contoh yang berlawanan. Interpretasi-interpretasi bisa bersifat bertentangan. Namun, hal ini tidak akan menjadi masalah apabila kita meletakkannya sebagai kristalisasi-kristalisasi sudut pandang yang saling melengkapi.

Kesimpulan

Interpretasi atau penafsiran adalah proses komunikasi melalui lisan atau gerakan antara dua atau lebih pembicara yang tak dapat menggunakan simbol-simbol yang sama, baik secara simultan (dikenal sebagai interpretasi simultan) atau berurutan (dikenal sebagai interpretasi berurutan). Menurut definisi, interpretasi hanya digunakan sebagai suatu metode jika dibutuhkan. Jika suatu objek (karya seni, ujaran, dll) cukup jelas maknanya, objek tersebut tidak akan mengundang suatu interpretasi. Istilah interpretasi sendiri dapat merujuk pada proses penafsiran yang sedang berlangsung atau hasilnya. Suatu interpretasi dapat merupakan bagian dari suatu presentasi atau penggambaran informasi yang diubah untuk menyesuaikan dengan suatu kumpulan simbol spesifik. Informasi itu dapat berupa lisan, tulisan, gambar, matematika, atau berbagai bentuk bahasa lainnya. Makna yang kompleks dapat timbul sewaktu penafsir baik secara sadar ataupun tidak melakukan rujukan silang terhadap suatu objek dengan menempatkannya pada kerangka pengalaman dan pengetahuan yang lebih luas.

Tujuan interpretasi biasanya adalah untuk meningkatkan pengertian, tapi kadang, seperti pada propaganda atau cuci otak, tujuannya justru untuk mengacaukan pengertian dan membuat kebingungan.

Interpretasi dan imajinasi sangat berhunbungan dalam menentukan fakta-fakta dalam sejarah, karena interpretasi belum bisa dikatakan selesai tanpa adanya imajinasi dari sejarawan dan dengan adanya kedua itu maka terjadilah suatu fakta sejarah yang memungkinkan adanya sumber-sumber sejarah baru, karena sumber-

Daftar Pustaka

Consuelo G. Sevilla et.al. Pengantar Metodologi Penelitian. UIP.

Kuntowijoyo. 2001. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang.

Helius Sjamsudin. 1994. Metodologi Sejarah, Departeman P & K, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Jakarta: Proyek Pendidikan Tenaga Akademik.

Kartodirdjo Sartono. 1993. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Popper, Raimund Karl. 2002. Masyarakat Terbuka dan Musuh-Musuhnya. Terjemahan, Uzair Fauzan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Muhadjir. Noeng. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta : Rake Sarasih

Widja I Gde. 1989. Sejarah Lokal Suatu Perspektif Dalam Pengajaran Sejarah. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.



[1] Consuelo G. Sevilla et.al.:63

[2] Kuntowijoyo, 2001:70